Sabtu, 24 Maret 2012

Karto Lupa Bapaknya Seorang Petani


Yusuf mendekati resepsionis yang sedang sibuk menerima telepon. Selesai menelepon resepsionis itu menyapa Yusuf dengan ramah.
“ Selamat pagi Pak Yusuf, silahkan , anda sudah ditunggu oleh Bapak di dalam”, sapanya dengan ramah sambil mengantar Yusuf ke ruang Direktur.
Yusuf memasuki ruangan itu dengan tenang. Itu bukan untuk pertama kalinya ia memasuki ruangan direktur perusahaan tersebut. Sebelumnya pernah sekali, waktu Karto menjadi direktur baru di perusahaan itu. Karto, sang direktur merupakan teman Yusuf sejak kecil, sama-sama satu SD, satu SMP pula dengan Yusuf. Sejak kecil Karto memang sangat cerdas, sehingga ia bisa sekolah dengan beasiswa. Padahal orang tuanya tergolong tidak mampu. Ia kemudian mendapat kesempatan sekolah di SMU favorit, dan mereka bertemu lagi dalam satu kampus di Universitas Indonesia. Karto mengambil Fakultas Ekonomi, sedangkan Yusuf masuk fakultas Hukum. Keduanya sama-sama mengambil S1. namun Karto melanjutkan sekolahnya ke Amerika dengan biaya pemerintah untuk mendalami ilmu kesejahteraan sosial. Dan Karto sekarang sudah menjadi direktur perusahaan CITRARAMA yang merupakan salah satu perusahaan paling bonafit di negri ini.

Yusuf sendiri sekarang sudah menjadi pengacara ternama. Namanya sudah bisa disejajarkan dengan Hotma Sitompul ataupun Ersa Siregar. Kliennya adalah para pejabat tinggi. Ia tidak terlalu mengkomersilkan jasanya bagi siapapun yang butuh jasanya.
“ Oh Yusuf, mari silahkan duduk. Aku sudah menunggumu. Tapi maaf, nampaknya kita cuma punya waktu satu jam saja. Wah… aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku ini. Kamu tentunya tidak keberatan bukan?” katanya dengan riang.
“ Tak apa To, aku hanya ingin berbincang-bincang sebentar saja, itupun tak penting, tak ada salahnya kan kalau aku bersilaturahmi ke sini. Habisnya kau jarang di rumah. Tiap aku tanya pada istrimu, dia selalu bilang kau sedang di luar kota.”
“ Ya begitulah Suf, aku sekarang jadi jarang di rumah, aku jadi kewalahan mengatur jadwal. Kadang aku lupa makan pula, sampai mag-ku kambuh lagi. Aku benar-benar kehabisan waktu.”
“ Tapi kau masih punya waktu untuk keluargamu kan?” tanya Yusuf.
“ Oh tentu, aku selalu punya waktu untuk anak istriku”, jawabnya dengan bangga.
Walaupun pertanyaan Yusuf terdengar basa basi, tapi Yusuf mengharapkan jawaban yang serius. Dan jawaban dari Karto barusan tidak sesuai dengan maksud Yusuf. Yusuf berharap kata-kata yang keluar dari mulut Karto adalah tentang Orangtuanya atau si Nurma adiknya di kampung. Yusuf pun perlahan mencoba mengarahkan pembicaraannya.
“ Oh iya To, bagaimana kabar bapak dan ibumu di desa, bagaimana pula kabar si Nurma adikmu, kemana dia melanjutkan sekolah?” tanya Yusuf
Maksud Yusuf menanyakan hal itu bukan karena ingin tahu kabar keluarga Karto. Sebab sebetulnya dia sudah tahu keadaan mereka. Yusuf hanya ingin tahu apakah Karto mengetahui keadaan keleuarganya itu.
“ Mereka baik-baik saja. Mungkin Nur disekolahkan Bapak ke sekolah perawat atau SMU Negri” jawab Karto dengan enteng.
“ Apa Kamu bilang, lucu sekali!” kata Yusuf sembari tertawa kecil
“ Lucu? Apanya yang lucu aku jadi bingung” katanya sambil mengernyitkan dahi.
“ Iya, itu, kau bilang mungkin? Masa kamu tidak tahu adikmu sendiri sekolah ke mana. Kamu seperti bukan kakaknya saja. Kau tidak lupa kan untuk mengirim biaya buat sekolah adikmu?”
“ Ah, iya, dia mungkin dapat beasiswa pula seperti aku dulu, dan kupikir Bapak mampu menyekolahkan Nurma. Aku takut dikira sok, kalau kirim uang ke sana.”
“ Ah ada-ada saja kau, mana ada orang tua yang menganggap anaknya sok karena mengirim uang buat keluarga”.
Begitulah pembicaraan mereka berlanjut. Setiap pertanyaan Yusuf, selalu dijawabnya dengan sisipan “mungkin”. Jadi Yusuf dapat mengambil kesimpulan bahwa Karto benar benar tidak tahu apa-apa tentang kondisi keluarganya.
Keluarga Karto di kampung hanya mendapat penghasilan dari bertani. Ayahnya memang seorang petani, dan kebanyakan warga di kampung itu adalah petani. Tapi mereka bukanlah petani yang makmur sebab dari tahun ke tahun nampaknya tidak ada perubahan pada nasib mereka. Hasil panen mereka harus diserahkan kepada para tengkulak dengan harga yang sangat murah. Sehingga tidak setara dengan apa yang mereka kerjakan. Apalagi kalau sudah gagal panen. Wah.. lengkap sudah penderitaan mereka. Akibatnya warga di sana sekarang kesusahan, dan terancam kelaparan.
Hal tersebut tidak diceritakan Yusuf pada Karto, sangat tidak etis rasanya jika Karto harus megetahui kabar keluarganya dari mulut orang lain. Apalagi setelah mendengar Karto berkata bahwa mungkin sekarang Bapaknya sudah menjadi juragan palawija di kampung. Ah keterlaluan Karto ini, padahal bapaknya adalah korban kekerasan para tengkulak. Dan yang lebih parah lagi, perusahaan CITRARAMA ini adalah salah satu dari tengkulak tengkulak itu.
“ Wah nampaknya waktuku sudah habis di sini. Yusuf kalau begitu aku akan pulang karena aku sudah ada janji dengan klien.” pamitnya.
“ Oh iya. Lain waktu datanglah lagi kemari. Aku akan sangat senang bisa ngobrol lagi denganmu”.
Yusuf pun pulang. Di perjalanan ia memikirkan pembicaraanya tadi dengan Karto.
Seminggu kemudian ketika Yusuf membaca Koran pagi, ia membaca sebuah headline yang ditulis besar-besar: “PERUSAHAAN BERPESTA DI ATAS PETANI YANG SEDANG MENJERIT”. Ia membacanya dengan saksama. Di tulis di situ bahwa salah satu kampung yang petaninya tertindas adalah kampung halamannya Karto. Para tengkulak benar- benar membeli hasil pertanian dengan sangat murah. Dan disebutkan pula salah satu tengkulak itu adalah Perusahaan CITRARAMA. Nasib para petani benar benar parah. Kampung itu dilanda kemiskinan. Hati Yusuf terenyuh mengetahui hal itu dan dengan segera ia menelepon ke kantornya Karto untuk membuat janji dengannya. Namun sayang Yusuf hanya bisa menemui Karto 2minggu kemudian. Seperti biasa, karena kesibukan.
Dua minggu kemudian Yusuf dapat menemui Karto. Seperti biasanya ia disambut resepsionis kemudian dipersilahkan masuk.
“ Oh Yusuf, ayo masuk. Ada apa gerangan datang kemari, nampaknya serius sekali?” tanya Karto.
“ Ah aku hanya ingin membahas ini.” Yusuf mengeluarkan Koran dan menunjuk headline yang dibacanya waktu itu.
Karto membacanya. Setelah beberapa detik baru ia bicara.
“ Oh… ini. Ah dasar! Orang orang jurnalistik itu senang sekali membesar-besarkan sesuatu.” Katanya enteng.
“ Yang ditulis disini benar. Apa kamu tidak memperhatikan perusahaanmu sudah mencekik para petani di kampung. Harga yang kamu berikan terlalu murah sehingga tidak seimbang dengan apa yang mereka jual.”
“ Aduh…aduh Yusuf. Kamu kenapa jadi mengurusi hal ini.” Katanya sambil mengibas-ngibas tangannya di udara.
“ Bukan begitu To! Aku hanya peduli dengan nasib mereka. Sebab mereka yang berjuang mati-matian untuk kesejahteraan Negara kita, sedangkan kesejahteraan mereka tidak diperhatikan”.
“ Tapi Yusuf. Apa yang aku lakukan juga untuk memakmurkan Negara. Begini, aku membeli hasil panen mereka dengan harga yang murah, sehingga aku bisa menjualnya ke luar negeri dengan harga yang berlipat. Nah keuntungannya buat Negara juga, dan Negara mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat!” jelas Karto.
“ Bukannya keuntungan itu lebih banyak masuk ke kantongmu! Uang yang kamu berikan kepada mereka benar-benar tidak sebanding dengan apa yang mereka kerjakan. Kamu bukan hanya membeli hasil pertaniannya saja, tapi keringat mereka juga. Bagaimana kalau musim kemarau, irigasi rusak, atau banyak hama hingga puso? Kau harus pikirkan itu juga.”ujar Yusuf, suaranya terdengar bijak.
Karto terlamun kemudian berkata, “ Ah sudahlah kenapa aku harus memikirkan hal itu, toh selama ini tak kudengar petani yang protes sampai bikin heboh! Lagi pula ini bukan urusanmu. Kau ini mentang- mentang sudah jadi pengacara, apa-apa dibelain. Lagi pula hasil panen mereka akhir-akhir ini tidak terlalu baik.”
“ Ya itu karena kesalahan kamu, apa kamu tidak pernah merasakan penderitaan mereka? Ingat To, bapakmu juga seorang petani. Dia jua pasti sedang kesusahan” katanya sedikit marah.
“ Ah darimana, bapak tidak pernah protes dengan kebijakan ini. Karena itu ia sekarang jadi juragan palawija, karena Bapak pandai mengusrusi ladangnya. Sudahlah kamu jangan ikut campur”.
“ Kamu salah To, bapakmu boro-boro kaya jadi juragan, dia juga sama-sama tercekik oleh tengkulak seperti kamu. Ia dan petani lain sedang kesusahan. Dan tahukah kamu adikmu Nurma tidak jadi melanjutkan sekolah karena biaya untuk sekolah malah habis untuk mengolah pertanian yang akhir-akhir ini puso. Kau tahu, mungkin sekarang mereka dan warga sekampung sedang kelaparan gara-gara kamu!” tukasnya.
Karto tersentak dari kursinya. Ayah, Nurma, apa benar nasib mereka seperti yang dikatakan Yusuf. Warga yang dulu tetangganya sekarang sedang kesusahan, sekejam itukah ia selama ini. Jangan jangan Negara ini tidak sejahtera nantinya gara gara dia. Karto tidak berani menatap Yusuf, ia malu.
“ To, coba kamu pikirkan hal ini, bapakmu dan petani lainnya hanya petani miskin. Mereka hanya hidup dari situ. Coba kamu berikan harga yang sesuai bagi mereka, agar mereka bisa memberikan panen terbaiknya. Kamu tahu kenapa selama ini bapakmu atau petani-petani itu tidak pernah protes? Mereka tidak berani Bung, mereka hanya orang kecil. Dan yang paling penting, tugas mereka mulia, mereka bukan semata-mata mencari untung, tapi hanya ingin Negara kita tidak kelaparan, jadi tidak banyak protes ini itu. Coba kamu bayar dan hargai kegigihan mereka. Dengar baik-baik. Untuk apa pemerintah jauh-jauh menyekolahkan kamu ke Amerika mendalami ilmu kesejahteraan sosial, kalau pada akhirnya kamu tidak memberikan kesejahteraan bagi Negara ini termasuk para petaninya. Selama ini ayahmu bangga kau sudah menjadi orang besar, tapi orang besar seperti apa ia tak tahu. Pikirkan, bagaimana seandainya dia tahu bahwa yang selama ini menindasnya, dan menindas teman temannya adalah anaknya sendiri?”
Sebulan kemudian Karto pulang ke kampung halamannya. Didapati keluarganya seperti apa yang diceritakan Yusuf. Bahkan adiknya terpaksa menjadi tukang cuci, untuk menambah tabungannya agar bisa melanjutkan sekolah. Ia sedih melihatnya, dan memberikan banyak bantuan untuk keluarganya serta beberapa warga di kampung. Ia amat prihatin, namun ia tidak berani menceritakan siapa dia, dia malu sekali.
Singkat cerita, Yusuf membaca sebuah surat kabar yang memberitakan bahwa tahun ini para petani sangat puas dengan harga yang di berikan perusahaan.
“ CITRARAMA sangat membantu kami, tolong sampaikan terimakasih kami mbak kepada direkturnya”. Kata seorang petani tua yang bercerita bahwa tahun ini ia bisa menyekolahkan anaknya, tanpa harus menjadi tukang cuci, kepada seorang wartawan. Ia belum tahu direktur itu anaknya sendiri.

Tidak ada komentar: